29 Mei 2006, hari yang tidak akan pernah terlupakan bagi warga Kahuripan Nirwana. Pada hari itulah sebuah peristiwa yang akan merubah kehidupan mereka bermula. Sebuah semburan dari sumur pengeboran Banjar Panji milik PT Lapindo Brantas tbk., yang awalnya dianggap tidak berarti apa-apa, ternyata mampu mengubah beberapa desa di sekitarnya menjadi kolam raksasa berisi lumpur.
Dan tentu saja, berbagai persoalan menyertainya, baik social, budaya sampai persoalan ekonomi menerpa warga yang menjadi korban. Kehilangan rumah, kehilangan tempat mencari nafkah, sampai kehilangan lingkungan yang sekian lama diakrabi adalah sebagian kecil dari dampak lumpur Lapindo. Pabrik-pabrik yang terpaksa harus berhenti beroperasi –karena tenggelam oleh lumpur- meninggalkan ribuan pengangguran akibat PHK. Selain itu, warga yang mempunyai tempat usaha dan menjadi satu-satunya sumber penghasilan, jelas akan mengalami nasib yang sama, bahkan lebih parah lagi, karena mereka kehilangan rumah sekaligus kehilangan juga sumber ekonomi rumah tangganya. Ibarat sudah jatuh tertimpa tangga, itulah penggambaran yang nyata atas nasib mereka. Sementara bagi warga yang mempunyai sumber penghasilan di luar area lumpur, mungkin lebih beruntung karena praktis mereka hanya kehilangan tempat tinggal saja, kehidupan sehari-hari tetap normal seperti biasa di rumah kontrakan.
Tetapi ada akibat yang lain dari hilangnya tempat tingal ini, yang tidak bisa dihindari oleh semua korban lumpur. Mulai dari anak-anak yang harus dipindahkan dari sekolahnya –karena sekolahnya pun menjadi korban amukan lumpur. Mereka terpaksa harus berpisah dari lingkungan dan teman-teman sepermainan. Bagi anak-anak, hal ini tentu meninggalkan trauma yang dalam, yang mungkin akan terbawa sampai bertahun-tahun kemudian. Bagi kaum dewasa pun, perpisahan dengan lingkungan yang sudah terjalin selama bertahun-tahun juga menyisakan kepediahan yang amat dalam. Hal ini karena lingkungan mereka menjadi tercerai-berai, tak berbekas sedikitpun.
Memasuki tahun ke empat ini, ternyata masih juga menyisakan persoalan-persoalan yang seharusnya sudah terselesaikan. Ganti rugi, baik Cash and Carry ataupun Cash and Resetlement masih banyak yang belum tuntas, bahkan cenderung –entah sengaja atau tidak- diulur-ulur pelaksanaannya. Pembayaran delapan puluh persen untuk peserta Cash and Carry sampai saat ini belum tuntas sepenuhnya. Demikian juga bagi peserta Cash and Resetlement di Kahuripan Nirwana. Meskipun sebagian besar rumah sudah selesai dibangun, bahkan banyak yang sudah dihuni, namun Surat-surat bukti kepemilikan baru sebagian kecil yang diserahkan. Bahkan sebagian besar belum melaksanakan Perjanjian Jual Beli (PJB). Padahal PJB dan Sertifikat merupakan dokumen penting dalampelaksanaan jual-beli rumah. Tanpa AJB dan Sertifikat, bisa dikatakan penghuni Kahuripan Nirwana hanya sekedar numpang tinggal saja!!!
Perumahan Kahuripan Nirwana terletak di Desa Jati Kecamatan Sidoarjo Kabupaten Sidoarjo. Kawasan hunian yang mempunyai tag line “Setengahnya Merupakan Area Hijau” ini, awalnya diperuntukkan bagi korban lumpur Lapindo yang memilih opsi “Cash and Resettlment”, dimana mayoritas adalah ex penghuni Perum Tanggulangin Anggun Sejahtera (TAS) , melalui mekanisme jual beli. Sisa delapn puluh persen ganti rugi yang diterima warga, digunakan sebagai pembelian atas rumah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar