Pada 26 Juli 2010 nanti, warga Sidoarjo –tak terkecuali warga Kahuripan Nirwana- bakal melaksanakan ritual lima tahunan, memilih calon Bupati Sidoarjo untuk lima tahun kedepan. Berbeda dengan pilkada 2005, pada pilkada kali ini incumbien Win Hedrarso tidak bisa mencalonkan diri lagi. Praktis semua calon adalah pendatang baru, meskipun terdapat Syaiful Illah yang maju dengan kendaraan PKB. Sebagai Wakil Bupati incumbien, Syaiful Illah lebih diuntungkan dibanding dengan empat calon yang lain, paling tidak dari segi popularitas, karena sudah cukup dikenal oleh warga Sidoarjo. Sementara empat calon lain, harus berjuang keras untuk memperkenalkan diri, karena relatif kurang dikenal.
Yang cukup mengejutkan adalah munculnya kandidat dari Lapindo , tidak tanggung-tanggung dua calon sekaligus, yaitu Bambang Prasetyo Widodo (Wiwid) yang dicalonkan oleh Partai Golkar dan Yuniwati Teryana lewat Partai Demokrat. Kemunculan mereka tentu perlu disikapi secara bijaksana oleh Warga Kahuripan Nirwana. Hampir seluruh warga Kahuripan Nirwana mengenal mereka berdua, minimal mengenal namanya. Wiwid, yang merupakan putra mantan bupati Sidoarjo Suwandi, adalah direktur operasional PT Minarak Lapindo Jaya (MLJ), sementara Yuniwati adalah Public Relation Manager MLJ.
Bagi Warga Kahuripan Nirwana , adanya calon-calon dari Lapindo ini pantas mendapat perhatian yang serius. Paling tidak ada dua hal yang perlu di perhatikan, pertama apa motivasi mereka mencalonkan diri dalam pilkada Sidoarjo 2010 ini? Selama ini kita mengenal mereka tidak lebih dari aktivitas professional sebagai karyawan Lapindo. Hampir tidak pernah sekalipun kita mendengar kiprah mereka dalam bidang yang lain, baik ekonomi, social maupun politik. Parktis seluruh aktivitas mereka hanya hal-hal yang terkait dengan masalah lumpur Lapindo. Karena itu dengan munculnnya nama keduanya dalam daftar calon bupati Sidoarjo 2010 -2015, menimbulkan pertanyaan apa motivasi mereka? Apa Visi dan Misi mereka secara kongkret? Bisakah mereka –apabila nanti terpilih- menjadikan sidoarjo lebih baik?
Yang kedua adalah seandainya mereka nanti terpilih menjadi Bupati Sidoarjo, bagaimana nasib penanganan lumpur Lapindo yang sudah berjalan 4 tahun? Bagaimana nasib korban lumpur, baik yang sudah masuk peta terdampak maupun belum? Dan yang terpenting bagi warga Kahuripan Nirwana adalah bagaimana kelanjutan proses Perjanjian Jual Beli dan penyerahan sertifikat rumah?
Dari pertanyaan yang kedua ini, ada hal cukup ironis. Dalam visi dan misi maupun baloho-baliho yang terpampang di sudut-sudut Sidoarjo, hampir tidak ada sama sekali yang menyinggung penangan lumpur. Sangat ironis, mengingat mereka seharusnya sangat mengetahui semua aspek persoalan lumpur di Sidoarjo. Kita patut mempertanyakan lebih jauh, seberapa besar komitment mereka terhadap penyelesaian masalah lumpur ini.
Lumpur Lapindo sudah menjadi ikon utama kota Sidoarjo, mengalahkan ikon-ikon lainnya. Karena itu penyelesaian masalah lumpur seharusnya menjadi misi utama dari semua Calon Bupati Sidoarjo, utamanya calon-calon dari Lapindo. Tentu sangat memprihatinkan apabila calon dari Lapindo sendiri justru tidak menjadikan penyelesaian masalah lumpur ini sebagai misi utama. Dan bagi warga Kahuripan Nirwana, tentu penyelesaian PJB dan sertifikat rumah merupakan faktor yang tidak bisa ditawar-tawar lagi.
Tidak adanya komitmen menyelesaikan masalah lumpur dalam visi dan misi para calon bupati dari Lapindo ini, seolah berkorelasi dengan sikap Lapindo sendiri dalam menyelesaikan masalah PJB dan sertifikat rumah bagi warga korban lumpur yang memilih opsi Cash and Resetlement di kahuripan Nirwana. Selama ini Lapindo hampir selalu meleset dalam menepati komitmen-komitmen terkait Kahuripan Nirwana. Mulai dari pembayaran susuk yang molor dari waktu yang dijanjikan, perubahan skema pembayaran susuk menjadi dicicil, pembangunan rumah yang meleset jauh dari jadwal yang dijanjikan, dan sekarang nasib PJB dan penyerahan sertifikat yang tidak jelas kapan realisasinya.
Dari rekam jejak diatas, sangat mungkin bila kelak apabila mereka terpilih menjadi bupati Sidoarjo, nasib warga Kahuripan Nirwana tidak akan berbeda dari kondisi saat ini, bahkan bisa jadi lebih parah dan tidak menentu!!!
Perumahan Kahuripan Nirwana terletak di Desa Jati Kecamatan Sidoarjo Kabupaten Sidoarjo. Kawasan hunian yang mempunyai tag line “Setengahnya Merupakan Area Hijau” ini, awalnya diperuntukkan bagi korban lumpur Lapindo yang memilih opsi “Cash and Resettlment”, dimana mayoritas adalah ex penghuni Perum Tanggulangin Anggun Sejahtera (TAS) , melalui mekanisme jual beli. Sisa delapn puluh persen ganti rugi yang diterima warga, digunakan sebagai pembelian atas rumah.
Media aspirasi dan perjuangan warga Perumahan Kahuripan Nirwana Sidoarjo
Forum Warga Kahuripan Nirwana Bersatu
Sabtu, 29 Mei 2010
Refleksi Empat Tahun Lumpur Lapindo (1)
29 Mei 2006, hari yang tidak akan pernah terlupakan bagi warga Kahuripan Nirwana. Pada hari itulah sebuah peristiwa yang akan merubah kehidupan mereka bermula. Sebuah semburan dari sumur pengeboran Banjar Panji milik PT Lapindo Brantas tbk., yang awalnya dianggap tidak berarti apa-apa, ternyata mampu mengubah beberapa desa di sekitarnya menjadi kolam raksasa berisi lumpur.
Dan tentu saja, berbagai persoalan menyertainya, baik social, budaya sampai persoalan ekonomi menerpa warga yang menjadi korban. Kehilangan rumah, kehilangan tempat mencari nafkah, sampai kehilangan lingkungan yang sekian lama diakrabi adalah sebagian kecil dari dampak lumpur Lapindo. Pabrik-pabrik yang terpaksa harus berhenti beroperasi –karena tenggelam oleh lumpur- meninggalkan ribuan pengangguran akibat PHK. Selain itu, warga yang mempunyai tempat usaha dan menjadi satu-satunya sumber penghasilan, jelas akan mengalami nasib yang sama, bahkan lebih parah lagi, karena mereka kehilangan rumah sekaligus kehilangan juga sumber ekonomi rumah tangganya. Ibarat sudah jatuh tertimpa tangga, itulah penggambaran yang nyata atas nasib mereka. Sementara bagi warga yang mempunyai sumber penghasilan di luar area lumpur, mungkin lebih beruntung karena praktis mereka hanya kehilangan tempat tinggal saja, kehidupan sehari-hari tetap normal seperti biasa di rumah kontrakan.
Tetapi ada akibat yang lain dari hilangnya tempat tingal ini, yang tidak bisa dihindari oleh semua korban lumpur. Mulai dari anak-anak yang harus dipindahkan dari sekolahnya –karena sekolahnya pun menjadi korban amukan lumpur. Mereka terpaksa harus berpisah dari lingkungan dan teman-teman sepermainan. Bagi anak-anak, hal ini tentu meninggalkan trauma yang dalam, yang mungkin akan terbawa sampai bertahun-tahun kemudian. Bagi kaum dewasa pun, perpisahan dengan lingkungan yang sudah terjalin selama bertahun-tahun juga menyisakan kepediahan yang amat dalam. Hal ini karena lingkungan mereka menjadi tercerai-berai, tak berbekas sedikitpun.
Memasuki tahun ke empat ini, ternyata masih juga menyisakan persoalan-persoalan yang seharusnya sudah terselesaikan. Ganti rugi, baik Cash and Carry ataupun Cash and Resetlement masih banyak yang belum tuntas, bahkan cenderung –entah sengaja atau tidak- diulur-ulur pelaksanaannya. Pembayaran delapan puluh persen untuk peserta Cash and Carry sampai saat ini belum tuntas sepenuhnya. Demikian juga bagi peserta Cash and Resetlement di Kahuripan Nirwana. Meskipun sebagian besar rumah sudah selesai dibangun, bahkan banyak yang sudah dihuni, namun Surat-surat bukti kepemilikan baru sebagian kecil yang diserahkan. Bahkan sebagian besar belum melaksanakan Perjanjian Jual Beli (PJB). Padahal PJB dan Sertifikat merupakan dokumen penting dalampelaksanaan jual-beli rumah. Tanpa AJB dan Sertifikat, bisa dikatakan penghuni Kahuripan Nirwana hanya sekedar numpang tinggal saja!!!
Dan tentu saja, berbagai persoalan menyertainya, baik social, budaya sampai persoalan ekonomi menerpa warga yang menjadi korban. Kehilangan rumah, kehilangan tempat mencari nafkah, sampai kehilangan lingkungan yang sekian lama diakrabi adalah sebagian kecil dari dampak lumpur Lapindo. Pabrik-pabrik yang terpaksa harus berhenti beroperasi –karena tenggelam oleh lumpur- meninggalkan ribuan pengangguran akibat PHK. Selain itu, warga yang mempunyai tempat usaha dan menjadi satu-satunya sumber penghasilan, jelas akan mengalami nasib yang sama, bahkan lebih parah lagi, karena mereka kehilangan rumah sekaligus kehilangan juga sumber ekonomi rumah tangganya. Ibarat sudah jatuh tertimpa tangga, itulah penggambaran yang nyata atas nasib mereka. Sementara bagi warga yang mempunyai sumber penghasilan di luar area lumpur, mungkin lebih beruntung karena praktis mereka hanya kehilangan tempat tinggal saja, kehidupan sehari-hari tetap normal seperti biasa di rumah kontrakan.
Tetapi ada akibat yang lain dari hilangnya tempat tingal ini, yang tidak bisa dihindari oleh semua korban lumpur. Mulai dari anak-anak yang harus dipindahkan dari sekolahnya –karena sekolahnya pun menjadi korban amukan lumpur. Mereka terpaksa harus berpisah dari lingkungan dan teman-teman sepermainan. Bagi anak-anak, hal ini tentu meninggalkan trauma yang dalam, yang mungkin akan terbawa sampai bertahun-tahun kemudian. Bagi kaum dewasa pun, perpisahan dengan lingkungan yang sudah terjalin selama bertahun-tahun juga menyisakan kepediahan yang amat dalam. Hal ini karena lingkungan mereka menjadi tercerai-berai, tak berbekas sedikitpun.
Memasuki tahun ke empat ini, ternyata masih juga menyisakan persoalan-persoalan yang seharusnya sudah terselesaikan. Ganti rugi, baik Cash and Carry ataupun Cash and Resetlement masih banyak yang belum tuntas, bahkan cenderung –entah sengaja atau tidak- diulur-ulur pelaksanaannya. Pembayaran delapan puluh persen untuk peserta Cash and Carry sampai saat ini belum tuntas sepenuhnya. Demikian juga bagi peserta Cash and Resetlement di Kahuripan Nirwana. Meskipun sebagian besar rumah sudah selesai dibangun, bahkan banyak yang sudah dihuni, namun Surat-surat bukti kepemilikan baru sebagian kecil yang diserahkan. Bahkan sebagian besar belum melaksanakan Perjanjian Jual Beli (PJB). Padahal PJB dan Sertifikat merupakan dokumen penting dalampelaksanaan jual-beli rumah. Tanpa AJB dan Sertifikat, bisa dikatakan penghuni Kahuripan Nirwana hanya sekedar numpang tinggal saja!!!
Kamis, 27 Mei 2010
Sekilas Kahuripan Nirwana
Perumahan Kahuripan Nirwana terletak di Desa Jati Kecamatan Sidoarjo Kabupaten Sidoarjo. Kawasan hunian yang mempunyai tag line “Setengahnya Merupakan Area Hijau” ini, awalnya diperuntukkan bagi korban lumpur Lapindo yang memilih opsi “Cash and Resettlment”, dimana mayoritas adalah ex penghuni Perum Tanggulangin Anggun Sejahtera (TAS) , melalui mekanisme jual beli. Sisa delapn puluh persen ganti rugi yang diterima warga, digunakan sebagai pembelian atas rumah.
Mulai dibangun sekitar pertengahan 2008, Kahuripan Nirwana Tahap pertama –terdiri dari blok A, AA dan AB- mulai diserahterimakan pada pertengahan 2009. Sementara blok B, CA dan CB menyusul, dan sampai saat ini hampir seratus persen telah selesai dibangun dan diserahterimakan kepada pemiliknya.
Saat ini Kahuripan Nirwana tahap pertama telah dihuni oleh sekitar 500 KK, dan telah terbentuk kepengurusan tingkat warga dengan 1 Rukun Warga (RW) dan 5 Rukun Tetangga (RT). Adapun Ketua Rukun Warga yang pertama kali dijabat oleh Bapak Sobirin Mochtar.
Sementara tahap kedua dihuni sekitar seratus KK dan sampai saat ini belum terbentuk kepengurusan warga.
*****
Mulai dibangun sekitar pertengahan 2008, Kahuripan Nirwana Tahap pertama –terdiri dari blok A, AA dan AB- mulai diserahterimakan pada pertengahan 2009. Sementara blok B, CA dan CB menyusul, dan sampai saat ini hampir seratus persen telah selesai dibangun dan diserahterimakan kepada pemiliknya.
Saat ini Kahuripan Nirwana tahap pertama telah dihuni oleh sekitar 500 KK, dan telah terbentuk kepengurusan tingkat warga dengan 1 Rukun Warga (RW) dan 5 Rukun Tetangga (RT). Adapun Ketua Rukun Warga yang pertama kali dijabat oleh Bapak Sobirin Mochtar.
Sementara tahap kedua dihuni sekitar seratus KK dan sampai saat ini belum terbentuk kepengurusan warga.
*****
Langganan:
Postingan (Atom)